Foto: Sudah Terdaftar UUCK, Petani di Riau Tetap Ditangkap, Warga Minta Tolong Presiden dan KLHK: Kami Dijajah!
INVESTIGASINEWS.CO
PELALAWAN - Sebanyak 4 orang petani perkebunan kelapa sawit di Desa Segati Kecamatan Langgam Kabupaten Pelalawan ditangkap security perusahaan dan diserahkan ke Polres Pelalawan.
Belum ada penjelasan yang jelas mengapa para petani tersebut ditangkap, akan tetapi persoalan yang sedang bergejolak saat ini perselisihan antara kelompok tani dan perusahaan PT Nusantara Sentosa Raya (NSR).
Petani disebut memanen hasil perkebunan yang masuk kawasan hutan, padahal dari informasi beredar bahwa perkebunan yang berbatasan dengan perkebunan perusahaan tersebut sudah terdaftar sesuai Undang Undang Cipta Kerja. Perkebunan tersebut diklaim oleh PT NSR sehingga menyebabkan petani merasa diintimidasi.
"Pak Presiden, Menteri LHK, apa dong fungsi Undang Undang Cipta Kerja, bukankah perkebunan yang sudah terlanjur ada di kawasan hutan ada pengampunan melalui UU Cipta Kerja, perkebunan itu sudah terdaftar, kenapa petani tetap ditangkapi?" kata salah seorang warga meminta identitasnya tidak disebutkan, Sabtu (22/6/2024).
Dikatakannya, bahwa lahirnya UUCK sejatinya untuk menjamin kepastian hukum bagi petani dan masyarakat yang telah terlanjur menanam dalam kawasan hutan, agar kebunnya mendapatkan legalitas.
"Namun sayangnya hal itu tidak berlaku bagi Perusahaan NSR, dimana perusahaan terkesan tutup mata atas aturan yang telah dibuat pemerintah. Kapan bangsa ini maju kalau aturan yang dibuat pemerintah justru dilanggar oleh perusahaan yang seharusnya lebih paham tentang aturan. Tolong Bapak Presiden Jokowi, Kapolri, dan seluruh Pemengang Kekuasaan, ini sudah penjajahan di bangsa sendiri," tegasnya.
Disebutkan, bahwa dalam Pasal 110 a dan Pasal 110 b Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Cipta Kerja (UUCK), yakni mengizinkan kebun sawit yang berada di dalam kawasan hutan sebelum berlakunya undang-undang ini untuk melakukan kegiatan usaha dengan memenuhi persyaratan dan hanya memberikan sanksi berupa denda administratif kepada perusahaan yang tidak memenuhi persyaratan.
"Kalau dilihat konteksnya sudah sangat jelas penanganan dengan sanksi administratif. Bukan asal tangkap. Anehnya yang menagkap hanya security perusahaan dan diserahkan langsung ke Penyidik," katanya heran.
Seperti diketahui, kejadian terbaru, tepatnya pada malam kemarin atau Kamis malam (20/6/2024) pihak keamanan PT NSR dan beberapa aparat memasuki Desa Segati, Kabupaten Pelalawan, berdasarkan informasi dari sumber di lapangan, aparat dan tim keamanan menanyakan identitas pengawas kebun dan pemilik kebun.
Sehari sebelumnya, pada 19 Juni 2024, sebanyak 4 pekerja kebun sawit di Desa Segati, yaitu Syafrico, Juli Isnansar, Dede Rahim, dan Rahmadhani, ditangkap paksa oleh sekitar 15 anggota keamanan PT NSR. Kejadian ini terjadi sekitar pukul 14.00 WIB di jalan kebun KM 48 Dusun Air Merah.
Dikutip catatanriau.com, para pekerja tersebut dihentikan saat truk mereka mengangkut sawit, kemudian mereka dibawa ke Polres Pelalawan.
Maruli Silaban SH, Kuasa Hukum empat terlapor, menyatakan bahwa tindakan penangkapan tersebut tidak berdasar hukum yang jelas karena hingga kini belum ada keputusan pemerintah mengenai penetapan kawasan hutan di Provinsi Riau.
"Oleh karena itu, penangkapan dan penetapan tersangka oleh PT NSR dan Polres Pelalawan patut dipertanyakan", tegasnya.
Kasus kriminalisasi dan penyerobotan lahan oleh PT NSR telah menjadi perhatian banyak pihak. Maruli menegaskan bahwa penegakan hukum harus dilakukan dengan patut dan tidak melanggar hak masyarakat.
Pakar Lingkungan Riau dan Dosen Perdata di Universitas Riau, Hengki Firmanda, juga mengecam tindakan arogan aparat dan menekankan pentingnya mediasi dalam penanganan sengketa lahan.
"Kasus ini memperlihatkan ketegangan antara perusahaan dan masyarakat terkait pengelolaan lahan, serta peran aparat yang seharusnya menjaga keamanan tanpa berpihak", urainya.
Kasus PT NSR dan Petani di Pelalawan
Kasus antara PT Nusantara Sentosa Raya (NSR) dan para petani di Desa Segati, Kecamatan Langgam, Pelalawan, telah menjadi viral dan menimbulkan berbagai isu hukum serta sosial yang serius. Kejadian ini mencuat setelah beberapa petani dan pekerja yang sedang memanen sawit ditangkap oleh keamanan PT NSR dan dilaporkan ke Polres Pelalawan pada Rabu 19 Juni 2024.
Peristiwa ini bukan yang pertama kali terjadi di kabupaten Pelalawan, PT NSR telah berulang kali melaporkan petani atas tuduhan tindak pidana dengan tujuan menguasai lahan yang sebelumnya dikelola oleh petani.
Menurut Maruli Silaban SH, yang bertindak sebagai penasihat hukum 4 orang pekerja kebun sawit yang ditangkap oleh security dilapor ke Polres Pelalawan.
Untuk diketahui bahwa petani yang lokasi lahannya dianggap masuk kawasan hutan telah berproses pengampunan negara dalam pengurusan keterlanjuran Undang-Undang Cipta Kerja (UU Nomor 11 Tahun 2020) PP nomor 24.
Maruli Silaban SH selaku kussa hukum menegaskan bahwa berdasarkan aturan yang berlaku, PT NSR harus menghormati hak-hak para petani yang telah lebih dahulu mengelola lahan tersebut.
"Peraturan perundang-undangan mengharuskan bahwa pengelolaan lahan yang melibatkan masyarakat harus memperhatikan hak-hak mereka dan memberikan kompensasi yang adil jika terjadi penggusuran, rasionalisasi luasan konsesi atau peralihan hak", ungkapnya.
Selain penangkapan pekerja petani, PT NSR juga diduga melakukan intimidasi terhadap petani dan perusakan kebun termasuk parit gajah. Tindakan ini dapat dikategorikan sebagai peristiwa hukum pidana dan pelanggaran hak asasi manusia. Tuduhan terhadap petani yang memasuki konsesi PT NSR juga menjadi dasar ancaman penggusuran paksa.
Petani yang memiliki bukti Proses UUCK (Undang-Undang Cipta Kerja) terkait dengan PP 24 Tahun 2021 tentang keterlanjuran. Keterlanjuran dengan Regulasi: Melalui PP 24 Tahun 2021, pemerintah menetapkan aturan untuk menangani kegiatan yang terlanjur berjalan. Regulasi ini mencakup persyaratan administrasi, teknis, dan lingkungan yang harus dipenuhi.
Proses UUCK dengan PP 24 dirancang untuk memberikan kepastian hukum dan melindungi lingkungan serta kepentingan masyarakat tanpa menghambat perkembangan ekonomi dan investasi.
Maruli Silaban menekankan pentingnya perhatian serius dari pihak berwenang untuk memastikan keadilan bagi para petani yang telah mengurus pengampunan keterlanjuran mengelola lahan dan masuk proses UUCK.
Terkait persoalan ini, redaksi tengah mengupayakan konfirmasi kepada pihak PT NSR untuk dimuat pada pemberitaan selanjutnya.***j.komar