Pondok, Mimpi, dan Jalan Koperasi: Seruan dari Pinggir Negeri

InvesBoleh diganti atau hapus

InvesBoleh diganti atau hapus

HU-KRIM


Pondok, Mimpi, dan Jalan Koperasi: Seruan dari Pinggir Negeri

Senin, 28 Juli 2025

Foto: Pondok, Mimpi, dan Jalan Koperasi: Seruan dari Pinggir Negeri. 


Opini oleh: Feribertus Raja

Manggarai Timur, 28 Juli 2025


INVESTIGASINEWS.CO

Di sebuah pondok kecil di kebun, seorang petani memandangi dinding kayu yang mulai lapuk digerus hujan dan panas. Dalam diam, ia mengenang kisah dari negeri-negeri jauh: Jepang yang hancur karena bom atom, Spanyol yang terpecah akibat perang saudara, Korea yang lama terbelah, dan India yang penuh luka kolonial. Namun dari puing-puing sejarah itu, lahir gerakan koperasi yang membebaskan rakyatnya dari kemiskinan.


"Kalau mereka bisa bangkit dari reruntuhan, kenapa kita masih tertatih?" tanyanya dalam hati, sambil menatap jalan berlubang yang membelah kampung. Delapan dekade setelah kemerdekaan, jutaan rakyat Indonesia masih hidup tanpa listrik, sekolah yang memadai, dan penghidupan yang layak. Ia percaya, kebangkitan hanya mungkin terjadi jika bangsa ini kembali pada akar: gotong royong melalui koperasi.


Namun ia menegaskan, bukan koperasi yang sekadar program pemerintah yang datang lalu menghilang. "Koperasi sejati lahir dari bawah, dari kegelisahan orang-orang yang ingin berubah," ucapnya.


Malam itu, ia tertidur di pondok, letih setelah seharian mencangkul. Dalam lelapnya, sosok berjubah putih datang menunggangi sepeda ontel. Wajahnya tenang dan penuh wibawa. Mereka berbincang tentang hidup dan arah bangsa. Lalu sang tamu berkata:


"Kita hidup di zaman yang bising oleh ide-ide. Kita sering menyangka telah berubah, padahal kaki kita masih terbenam di lumpur yang sama."


Ia merenung. Di banyak tempat, ide-ide besar justru menjauhkan manusia dari kenyataan. Di ruang rapat, di media sosial, bahkan di sekolah, ide mengkilap bisa menjadi ilusi jika tak berpijak pada realitas.


Dari Basque ke Nusantara


Di tanah Basque, Spanyol, rakyat mengenal arti kebebasan bukan sebagai hak untuk bicara semata, melainkan keberanian untuk berdiri di tengah badai sejarah. Dari sanalah lahir Mondragon—koperasi raksasa yang membuktikan bahwa solidaritas dan kerja bisa seiring.


Di Indonesia, kita terlalu sering mengira bahwa kerja keras sendirian cukup. Padahal, ekonomi seperti jam raksasa. Jika satu roda gigi macet—petani, buruh, guru, atau nelayan—maka semua ikut terganggu. Kita lupa, bahwa roti yang kita makan, listrik yang kita nyalakan, adalah hasil kerja ribuan tangan lain.


Namun hari ini, ketimpangan makin terasa. Pendidikan menciptakan kasta sosial baru. Yang lahir di keluarga mapan melaju lebih cepat; yang di pinggiran bahkan tak sempat ikut start. Solidaritas pun kian semu—hanya tinggal kata di baliho.


Koperasi Bukan Sekadar Ekonomi


Gerakan koperasi bukan sekadar soal produksi dan distribusi. Ia adalah bentuk demokrasi ekonomi. "Satu orang, satu suara" menjadi prinsip utama. Tanpa partisipasi sejati dari para pekerja, koperasi hanyalah nama. Tanpa kesadaran kolektif, semangatnya tak akan hidup.


"Ketika terpisah, kita lemah. Tapi bersatu, kita menjadi kekuatan yang tak bisa diabaikan," ujarnya.


Kita juga dihadapkan pada krisis ekologis dan sosial. Di satu sisi bumi rusak, di sisi lain manusia kelaparan. Di tengah kelimpahan, masih banyak yang terpinggirkan. Dalam situasi ini, pertanyaan paling penting muncul: Adakah jalan lain?


Jawabannya bisa jadi sederhana: saling membantu. “Let us help each other and make sure that we will be helped.” Tidak ada solidaritas tanpa timbal balik. Bantuan sejati bukan kemurahan hati satu pihak, tapi pengakuan bahwa semua saling membutuhkan.


Membangun Dari Akar


Ketika koperasi lahir dari kesadaran, bukan program, maka struktur yang tumbuh adalah rumah bersama—bukan istana satu orang. Bukan monumen kekuasaan, melainkan jembatan partisipasi. Bukan proyek pribadi, tetapi gerakan kolektif.


"Ekonomi adalah cermin relasi antarmanusia," katanya. Maka fondasi ekonomi sejati adalah kesadaran bahwa kita semua saling bergantung.


Hari ini, kita punya pilihan: bertahan dalam sistem yang melanggengkan ketimpangan, atau membangun struktur baru yang memberi ruang bagi semua. Perjuangan ini tak mudah. Tapi bukankah itulah arti dari kemerdekaan yang sejati?


"Mungkin kita tak perlu lagi bertanya siapa yang menang atau kalah," tutupnya.


"Yang perlu kita tanyakan adalah: siapa lagi yang bisa kita ajak berjalan bersama?"



Catatan Redaksi: Tulisan ini merupakan opini naratif yang berpijak pada pengalaman personal dan refleksi sosial penulis, disusun sesuai kaidah jurnalistik naratif dan etika pers yang mengedepankan fakta, keseimbangan, serta semangat perubahan sosial.***fr

Most Popular

Video InvestigasiNews.co

https://www.youtube.com/@investigasinewsredaksi/featured

Video Terpopuler

https://www.youtube.com/@DwiPurwanto-kd4uf

Berita Terkini

Pondok, Mimpi, dan Jalan Koperasi: Seruan dari Pinggir Negeri

Foto: Pondok, Mimpi, dan Jalan Koperasi: Seruan dari Pinggir Negeri.  Opini o leh: Feribertus Raja Manggarai Timur, 28 Juli 202...